Api Perlawanan di Tanah Leluhur: Bentrokan Agraria dan ‘Peperangan Publik Adat’ dalam Mempertahankan Hak dan Martabat
Pendahuluan
Bagi banyak komunitas adat dan masyarakat lokal di seluruh dunia, tanah bukan sekadar hamparan fisik tempat mereka berpijak. Tanah adalah nyawa, identitas, warisan nenek moyang, dan jaminan masa depan. Ia adalah sumber kehidupan, tempat bersemayamnya nilai-nilai spiritual, tradisi, dan pengetahuan turun-temurun. Namun, di tengah gelombang modernisasi, ekspansi ekonomi, dan kebijakan pembangunan yang kerap abai, tanah-tanah ini menjadi medan pertempuran. Bentrokan agraria, yang melibatkan sengketa kepemilikan dan pemanfaatan lahan antara masyarakat di satu sisi dan korporasi besar atau negara di sisi lain, telah menjadi isu krusial yang merenggut hak, merusak lingkungan, dan mengancam keberlangsungan budaya. Dalam menghadapi ancaman ini, komunitas adat dan masyarakat lokal tak gentar untuk melancarkan apa yang bisa disebut sebagai "peperangan publik adat"—sebuah perjuangan multidimensi yang melibatkan seluruh elemen komunitas, dari meja perundingan hingga garis depan perlawanan fisik, demi mempertahankan hak atas tanah dan martabat mereka.
Artikel ini akan mengupas tuntas akar masalah bentrokan agraria, makna mendalam tanah bagi masyarakat adat, berbagai bentuk "peperangan publik adat" yang mereka lakukan, dampak konflik, peran negara, serta jalan ke depan untuk mencapai keadilan agraria.
Akar Masalah: Warisan Kolonial dan Ekspansi Kapitalisme
Untuk memahami bentrokan agraria di Indonesia, kita harus menengok jauh ke belakang, ke masa kolonial. Belanda memperkenalkan sistem hukum agraria yang mengabaikan hak-hak adat atas tanah dan memperkenalkan konsep Domein Verklaring (pernyataan domein) yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara. Warisan ini berlanjut setelah kemerdekaan, di mana negara mengambil alih kendali penuh atas sumber daya agraria melalui undang-undang seperti Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang meskipun progresif dalam beberapa aspek, tetap menempatkan negara sebagai penguasa tertinggi atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Di era Orde Baru, pembangunan ekonomi berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam skala besar. Izin konsesi hutan, pertambangan, dan perkebunan diberikan secara masif kepada korporasi swasta dan BUMN, seringkali tanpa persetujuan atau bahkan sepengetahuan masyarakat lokal yang telah mendiami dan mengelola lahan tersebut secara turun-temurun. Politik "pembangunan" ini tidak hanya merampas tanah tetapi juga mengkriminalisasi masyarakat yang mencoba mempertahankan hak mereka.
Pasca-Reformasi, meskipun ada harapan akan perubahan, bentrokan agraria justru semakin intens. Liberalisasi ekonomi, dorongan investasi asing, dan kebijakan kemudahan berusaha telah mempercepat laju ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan monokultur (terutama kelapa sawit), infrastruktur besar (bendungan, jalan tol, bandara), serta pariwisata. Pemerintah daerah yang otonom, seringkali mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan terjerat kepentingan elite lokal, turut berkontribusi pada penerbitan izin yang tumpang tindih dan merugikan masyarakat. Konflik ini diperparah oleh tumpang tindih regulasi, lemahnya penegakan hukum, praktik korupsi, dan ketidakjelasan batas wilayah yang menciptakan celah bagi pihak-pihak berkuasa untuk mengklaim tanah yang secara de facto dan de jure adalah milik masyarakat adat atau lokal.
Tanah sebagai Identitas dan Jiwa Adat
Bagi masyarakat adat, tanah adalah entitas hidup yang terintegrasi dengan seluruh aspek kehidupan mereka. Konsep Tanah Ulayat atau wilayah adat bukan sekadar sepetak lahan, melainkan keseluruhan lanskap yang meliputi hutan, sungai, pegunungan, ladang, dan permukiman, yang diatur berdasarkan hukum dan pranata adat. Tanah adalah:
- Sumber Kehidupan Ekonomi: Menyediakan pangan (pertanian, berburu, meramu), air bersih, obat-obatan tradisional, bahan bangunan, dan sumber penghidupan lainnya. Kehilangan tanah berarti kehilangan mata pencarian dan terjerumus dalam kemiskinan.
- Pusat Spiritual dan Ritual: Banyak situs sakral, makam leluhur, dan tempat upacara adat berada di wilayah adat mereka. Perusakan atau perampasan tanah sama dengan penistaan terhadap keyakinan dan ikatan spiritual mereka dengan nenek moyang dan alam.
- Wadah Pengetahuan Tradisional: Masyarakat adat memiliki pengetahuan ekologi tradisional (PET) yang mendalam tentang pengelolaan hutan, pertanian berkelanjutan, konservasi keanekaragaman hayati, dan mitigasi bencana, yang diturunkan dari generasi ke generasi. Pengetahuan ini terancam punah jika mereka terpisah dari tanah mereka.
- Identitas dan Budaya: Bahasa, tarian, musik, cerita rakyat, dan sistem nilai masyarakat adat sangat terkait erat dengan lingkungan dan tanah mereka. Tanah adalah narasi hidup yang membentuk identitas kolektif. Kehilangan tanah berarti hilangnya akar budaya dan disintegrasi sosial.
- Kedaulatan dan Otonomi: Tanah ulayat adalah simbol kedaulatan internal masyarakat adat, tempat mereka menjalankan hukum dan pemerintahan adat mereka secara mandiri. Perampasan tanah meruntuhkan sistem otonomi ini dan membuat mereka rentan terhadap dominasi eksternal.
Oleh karena itu, ketika tanah mereka terancam, masyarakat adat tidak hanya berjuang untuk sepetak lahan, tetapi untuk seluruh eksistensi mereka sebagai komunitas yang berdaulat, berbudaya, dan berhak atas masa depan yang lestari.
Bentuk-Bentuk ‘Peperangan Publik Adat’ dalam Mempertahankan Tanah
Istilah "peperangan publik adat" mungkin terdengar dramatis, namun ini mencerminkan intensitas dan sifat perjuangan yang melibatkan seluruh elemen komunitas dan berbagai strategi, dari yang paling halus hingga paling konfrontatif. Berikut adalah bentuk-bentuk perlawanan yang umum dilakukan:
-
Perlawanan Hukum dan Advokasi:
- Gugatan di Pengadilan: Banyak komunitas menempuh jalur hukum untuk menggugat izin konsesi, menuntut pengakuan hak atas tanah adat, atau meminta ganti rugi atas kerusakan. Meskipun prosesnya panjang dan mahal, beberapa kasus berhasil dimenangkan, memberikan preseden penting bagi perjuangan lainnya.
- Lobi dan Advokasi Kebijakan: Masyarakat adat, seringkali didukung oleh organisasi non-pemerintah (ORNOP), secara aktif melobi pemerintah dan parlemen untuk mengesahkan undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-hak mereka, seperti Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA).
- Penyusunan Peta Partisipatif dan Peraturan Adat: Secara proaktif memetakan wilayah adat mereka secara partisipatif dan mendokumentasikan hukum adat terkait pengelolaan tanah. Ini menjadi bukti kuat atas klaim mereka dan alat negosiasi yang sah.
-
Aksi Langsung dan Protes Massa:
- Blokade dan Pendudukan Lahan: Komunitas seringkali melakukan blokade jalan menuju lokasi proyek atau menduduki kembali lahan yang diklaim sebagai wilayah adat mereka. Ini adalah bentuk perlawanan fisik yang seringkali berisiko tinggi namun efektif untuk menghentikan operasi korporasi dan menarik perhatian publik.
- Demonstrasi dan Pawai: Mengorganisir aksi massa di tingkat lokal maupun nasional untuk menyuarakan tuntutan mereka, meningkatkan kesadaran publik, dan menekan pemerintah.
- Membangun Posko Perlawanan: Mendirikan posko di dekat area konflik sebagai pusat koordinasi, penjagaan, dan simbol perlawanan yang terus-menerus.
-
Kampanye Media dan Penggalangan Dukungan Publik:
- Pemanfaatan Media Sosial: Menggunakan platform digital (Facebook, Twitter, Instagram, YouTube) untuk menyebarkan informasi tentang konflik, menggalang dukungan, dan melawan narasi negatif dari pihak lawan.
- Dokumentasi dan Laporan: Merekam dan mendokumentasikan setiap insiden kekerasan, perusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai bukti. Laporan ini kemudian disebarkan ke media, organisasi HAM, dan lembaga internasional.
- Kemitraan dengan Jurnalis dan Seniman: Mengajak jurnalis independen untuk meliput, serta seniman untuk menciptakan karya yang mengangkat isu perjuangan mereka, membantu menyebarkan pesan ke khalayak yang lebih luas.
-
Perlawanan Budaya dan Spiritual:
- Upacara Adat dan Ritual: Melakukan ritual dan upacara adat di lokasi konflik sebagai bentuk penolakan spiritual dan penguatan ikatan dengan tanah leluhur. Ini juga menjadi bentuk ekspresi identitas dan solidaritas.
- Lagu dan Cerita Perlawanan: Menciptakan lagu, puisi, atau cerita yang mengisahkan perjuangan mereka, mengobarkan semangat, dan melestarikan ingatan kolektif tentang perlawanan.
- Penguatan Hukum Adat: Menghidupkan kembali dan menegakkan hukum adat di tengah tekanan modern, menegaskan otonomi dan sistem keadilan mereka sendiri.
-
Advokasi Internasional:
- Melapor ke Badan PBB: Mengajukan laporan ke mekanisme HAM PBB seperti Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat atau Kelompok Kerja Bisnis dan HAM.
- Mencari Dukungan Internasional: Bekerja sama dengan organisasi internasional yang peduli hak asasi manusia dan lingkungan untuk mendapatkan dukungan politik, finansial, dan moral.
- Kampanye Boikot Produk: Dalam beberapa kasus, komunitas dan aktivis mengkampanyekan boikot terhadap produk perusahaan yang terlibat dalam perampasan tanah, menekan mereka melalui jalur ekonomi.
Semua bentuk perlawanan ini seringkali dijalankan secara simultan, mencerminkan strategi holistik yang melibatkan seluruh aspek kehidupan komunitas.
Dampak Bentrokan dan Ancaman Kriminalisasi
Dampak bentrokan agraria sangat menghancurkan. Pertama, pemiskinan dan kehilangan mata pencarian karena masyarakat kehilangan akses ke lahan pertanian, hutan, atau sumber daya perikanan mereka. Kedua, kerusakan lingkungan yang parah akibat deforestasi, pencemaran air dan tanah oleh limbah industri, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga, disintegrasi sosial dan budaya karena masyarakat terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka, kehilangan identitas, dan menghadapi trauma psikologis.
Yang tak kalah penting adalah kriminalisasi pejuang tanah. Mereka yang berani melawan seringkali dituduh melakukan tindakan pidana seperti perusakan, penyerobotan lahan, atau bahkan makar. Aparat penegak hukum, dalam banyak kasus, cenderung memihak korporasi atau negara, menggunakan kekuatan untuk membubarkan protes, menangkap aktivis, dan mengintimidasi masyarakat. Banyak pejuang tanah yang berakhir di penjara dengan tuduhan palsu, sementara para pelaku kekerasan dari pihak korporasi atau aparat jarang tersentuh hukum. Perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban paling rentan dalam konflik ini, menghadapi kekerasan, pelecehan, dan kehilangan akses pendidikan serta kesehatan.
Peran Negara dan Tantangan Penegakan Hukum
Negara memiliki peran ganda dalam bentrokan agraria. Di satu sisi, konstitusi dan undang-undang menjamin hak atas tanah dan perlindungan masyarakat adat. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi seringkali mengesampingkan hak-hak dasar masyarakat. Kelemahan dalam tata kelola agraria, seperti tumpang tindih izin, data lahan yang tidak akurat, dan lemahnya koordinasi antarlembaga, memperburuk masalah.
Meskipun ada upaya seperti Program Reforma Agraria (TORA) dan Percepatan Pengakuan Hutan Adat, pelaksanaannya masih sangat lambat dan belum mampu mengatasi skala konflik yang ada. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Tanpa Paksaan/PBDTP), yang merupakan hak masyarakat adat untuk menyetujui atau menolak proyek pembangunan di wilayah mereka, seringkali diabaikan atau dimanipulasi. Tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa negara benar-benar berfungsi sebagai pelindung hak-hak rakyat, bukan sebagai fasilitator perampasan sumber daya.
Jalan ke Depan: Harapan dan Rekomendasi
Untuk mengakhiri bentrokan agraria dan mengukuhkan keadilan agraria, diperlukan langkah-langkah komprehensif:
- Pengakuan dan Perlindungan Hak Tanah Adat: Mendesak percepatan pengesahan dan implementasi RUU Masyarakat Hukum Adat, serta mengakui dan memetakan secara masif wilayah-wilayah adat yang ada.
- Reforma Agraria yang Sejati: Melaksanakan reforma agraria yang berpihak pada rakyat, mendistribusikan kembali tanah-tanah yang terlantar atau dikuasai secara tidak sah kepada petani, masyarakat adat, dan masyarakat lokal yang membutuhkan.
- Penegakan Hukum yang Adil: Memastikan bahwa aparat penegak hukum bertindak netral dan profesional, mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap pejuang tanah, dan menghukum pelaku kejahatan agraria, baik dari korporasi maupun individu.
- Implementasi PBDTP yang Konsisten: Memastikan bahwa setiap proyek pembangunan di wilayah adat atau masyarakat lokal hanya dapat berjalan setelah mendapatkan persetujuan yang benar-benar bebas, didahulukan, dan tanpa paksaan dari komunitas yang bersangkutan.
- Penguatan Kapasitas Komunitas: Memberikan dukungan hukum, pelatihan, dan sumber daya bagi komunitas adat untuk memperkuat kapasitas mereka dalam mengelola tanah secara berkelanjutan dan bernegosiasi dengan pihak luar.
- Pendidikan dan Kesadaran Publik: Meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang pentingnya hak-hak agraria, isu masyarakat adat, dan dampak buruk bentrokan agraria, sehingga muncul dukungan yang lebih besar terhadap perjuangan mereka.
- Pembangunan Berkelanjutan yang Berkeadilan: Mendorong model pembangunan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam setiap perencanaan dan pelaksanaannya.
Kesimpulan
"Peperangan publik adat" adalah manifestasi dari perjuangan eksistensial yang mendalam. Ini bukan sekadar konflik perebutan lahan, melainkan pertarungan antara dua paradigma: satu yang melihat tanah sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi, dan yang lain yang memandangnya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas, budaya, dan keberlangsungan hidup. Meskipun diwarnai tantangan berat, kriminalisasi, dan kekerasan, semangat perlawanan masyarakat adat dan lokal tak pernah padam. Mereka adalah benteng terakhir yang menjaga kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, sekaligus penjaga kearifan lokal yang esensial bagi keberlanjutan bumi. Mendukung perjuangan mereka adalah investasi bagi masa depan yang lebih adil, lestari, dan manusiawi bagi kita semua.












