Timor: Sang Saga Impian Nasional yang Karam di Gelombang Realita dan Krisis
Indonesia, sebuah negara kepulauan raksasa dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa, telah lama memimpikan kemandirian industri, terutama di sektor otomotif. Mobil, lebih dari sekadar alat transportasi, sering kali menjadi simbol kemajuan teknologi, kekuatan ekonomi, dan kebanggaan nasional. Di tengah gelombang optimisme ekonomi pada pertengahan 1990-an, mimpi itu menemukan wujudnya dalam proyek yang dikenal sebagai "Mobil Nasional Timor." Sebuah ambisi besar yang lahir dari visi kemandirian, namun terhempas oleh badai kontroversi, gejolak ekonomi, dan realitas politik yang keras. Kisah Timor bukan hanya tentang sebuah mobil, melainkan cerminan kompleksitas antara impian nasional, pragmatisme ekonomi, dan intrik kekuasaan.
I. Latar Belakang dan Mimpi Kemandirian Industri: Sebuah Obsesi Nasional
Sejak era kemerdekaan, Indonesia telah berupaya keras untuk membangun fondasi industri yang kuat. Di sektor otomotif, upaya ini dimulai dengan perakitan kendaraan asing, yang diharapkan akan menjadi jembatan menuju produksi mandiri dengan kandungan lokal yang tinggi. Sepanjang dekade 1970-an dan 1980-an, industri otomotif Indonesia berkembang pesat, didominasi oleh merek-merek Jepang yang merakit produk mereka di dalam negeri. Namun, dominasi ini, meskipun membawa teknologi dan lapangan kerja, juga menyisakan kerinduan akan "mobil buatan sendiri" – sebuah kendaraan yang dirancang, diproduksi, dan dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Mimpi mobil nasional bukan hanya soal ekonomi; ia adalah manifestasi dari semangat nasionalisme dan keinginan untuk sejajar dengan negara-negara maju. Negara-negara tetangga seperti Malaysia telah sukses dengan Proton, membuktikan bahwa negara berkembang pun bisa memiliki merek mobil sendiri. Ini memicu pertanyaan: mengapa Indonesia tidak bisa? Dengan pasar domestik yang begitu besar dan sumber daya alam yang melimpah, potensi untuk menjadi pemain utama di industri otomotif global terasa sangat nyata. Sebuah mobil nasional diharapkan dapat mendorong transfer teknologi, menciptakan ekosistem industri hulu-hilir, membuka lapangan kerja massal, dan pada akhirnya, mengurangi ketergantungan pada produk impor.
Pada awal 1990-an, di bawah rezim Orde Baru yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kondisi terasa matang untuk mewujudkan mimpi ini. Pemerintah, dengan visi industrialisasi yang kuat, melihat sektor otomotif sebagai kunci untuk melompat lebih jauh dalam rantai nilai ekonomi. Proyek mobil nasional, dalam konteks ini, bukan hanya sebuah program, melainkan sebuah pernyataan ambisi besar Indonesia di panggung global.
II. Kelahiran Timor: Dekrit Presiden dan Jalan Pintas yang Kontroversial
Puncak dari impian ini terwujud pada tanggal 28 Februari 1996, ketika Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional. Inpres ini menjadi landasan hukum yang sangat krusial, membuka jalan bagi lahirnya Mobil Nasional Timor. Dalam semangat Inpres tersebut, pemerintah menunjuk PT Timor Putra Nasional (TPN) sebagai pelaksana proyek. PT TPN, sebuah perusahaan yang dipimpin oleh Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), putra bungsu Presiden Soeharto, menjadi pusat perhatian sekaligus kontroversi sejak awal.
Kebijakan yang menyertai Inpres ini adalah yang paling menuai kritik: pemerintah memberikan fasilitas khusus berupa pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan bea masuk komponen bagi mobil nasional. Syarat untuk mendapatkan fasilitas ini adalah mobil tersebut harus diproduksi oleh perusahaan nasional, menggunakan merek nasional, dan memiliki kandungan lokal minimal 20% pada tahun pertama, meningkat menjadi 40% pada tahun kedua, dan 60% pada tahun ketiga.
Namun, dalam praktiknya, PT TPN memilih jalan pintas yang cepat dan kontroversial. Alih-alih mengembangkan mobil dari nol atau melakukan transfer teknologi secara bertahap, Timor Putra Nasional menjalin kerja sama dengan Kia Motors dari Korea Selatan. Mobil yang kemudian diluncurkan sebagai Timor S515 (sedan) dan Timor S515i (injeksi) sejatinya adalah Kia Sephia yang di-rebadge, atau lebih tepatnya, diimpor dalam bentuk Completely Built Up (CBU) dari Korea Selatan. Keputusan ini secara langsung bertentangan dengan semangat kemandirian dan kandungan lokal yang dicanangkan. Mobil Timor pertama yang mengaspal di jalanan Indonesia adalah mobil impor utuh dengan merek lokal, tanpa pajak.
Strategi ini tentu saja memicu kegemparan. Harga Timor, yang bebas pajak, menjadi jauh lebih murah dibandingkan mobil sejenis dari merek Jepang atau Eropa yang harus membayar pajak penuh. Sebuah Timor S515 kala itu dijual sekitar Rp 35 juta, jauh di bawah harga kompetitor sejenis yang bisa mencapai Rp 50-70 juta. Meskipun secara teknis menguntungkan konsumen, langkah ini menciptakan distorsi pasar yang serius dan menabrak prinsip-prinsip perdagangan internasional.
III. Badai Kontroversi Internasional: Pelanggaran WTO dan Ancaman Sanksi Dagang
Keputusan pemerintah Indonesia untuk memberikan fasilitas khusus kepada Timor, ditambah dengan praktik impor CBU, segera menarik perhatian dan kemarahan komunitas internasional. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, yang memiliki investasi besar di industri otomotif Indonesia melalui pabrikan seperti Toyota, Honda, Suzuki, Ford, dan General Motors, merasa dirugikan dan menganggap kebijakan ini sebagai pelanggaran serius terhadap aturan perdagangan multilateral.
Kritik utama tertuju pada pelanggaran prinsip "perlakuan nasional" (national treatment) dalam Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT) tahun 1994, yang merupakan bagian dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Prinsip ini menyatakan bahwa produk impor harus diperlakukan sama dengan produk domestik dalam hal perpajakan dan regulasi. Pembebasan pajak untuk Timor, sementara mobil impor (atau mobil yang dirakit di Indonesia oleh perusahaan asing) tetap dikenakan pajak, jelas merupakan diskriminasi. Selain itu, kebijakan ini juga dianggap melanggar Perjanjian tentang Tindakan Investasi Terkait Perdagangan (TRIMs Agreement) WTO.
Pada Oktober 1996, Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat secara resmi mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke WTO. Mereka menuduh Indonesia melanggar komitmen perdagangan bebas dan menciptakan praktik persaingan tidak sehat. Gugatan ini bukan sekadar protes diplomatik; ia membawa ancaman sanksi perdagangan yang serius terhadap produk-produk ekspor Indonesia lainnya jika Indonesia tidak mengubah kebijakannya.
Situasi ini menempatkan Indonesia dalam posisi sulit di panggung internasional. Citra Indonesia sebagai mitra dagang yang adil dan patuh pada aturan global tercoreng. Pemerintah Soeharto berupaya mempertahankan kebijakannya dengan argumen bahwa proyek Timor adalah upaya untuk mengembangkan industri nasional dan bahwa fasilitas yang diberikan bersifat sementara. Namun, tekanan dari negara-negara maju dan ancaman eskalasi sanksi perdagangan semakin memojokkan.
IV. Tantangan Domestik dan Kritik Internal: Antara Kualitas dan Nepotisme
Tidak hanya dari luar negeri, kritik juga datang dari dalam negeri. Meskipun Timor disambut dengan antusiasme awal karena harganya yang terjangkau, berbagai masalah mulai mencuat. Kualitas produk menjadi pertanyaan. Meskipun Kia Sephia adalah mobil yang cukup baik, proses re-badging dan kontrol kualitas awal untuk pasar Indonesia kurang optimal. Ada keluhan mengenai suku cadang, layanan purna jual, dan jaringan bengkel yang masih terbatas.
Yang lebih fundamental, proyek ini dikritik karena kurangnya kandungan lokal yang sebenarnya. Sebagian besar komponen Timor masih diimpor dari Korea Selatan, bertentangan dengan janji awal. Ini berarti proyek tersebut lebih merupakan perakitan ulang daripada produksi, sehingga tujuan transfer teknologi dan pengembangan industri komponen domestik tidak tercapai secara substansial.
Selain itu, keterlibatan putra presiden dalam proyek ini memunculkan isu nepotisme dan kolusi yang kuat. Di tengah sentimen anti-KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang mulai menguat, Timor menjadi simbol bagaimana kekuasaan politik digunakan untuk keuntungan pribadi, merugikan kompetitor lain dan menghambat persaingan yang sehat. Persepsi publik pun terbelah: di satu sisi ada kebanggaan semu atas "mobil nasional," di sisi lain ada kecaman atas proses yang tidak transparan dan tidak adil.
Proyek Timor, dengan segala fasilitasnya, menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Perusahaan otomotif lain yang telah berinvestasi puluhan tahun di Indonesia merasa terancam dan tidak mampu bersaing secara adil. Ini menghambat investasi baru dan bahkan dapat memicu penarikan investasi lama. Mimpi mobil nasional yang seharusnya mempersatukan, justru menciptakan perpecahan dan ketidakadilan.
V. Krisis Ekonomi 1997/1998 dan Kejatuhan Sang Impian
Saat badai kontroversi internasional dan kritik domestik belum mereda, Indonesia dihadapkan pada cobaan yang jauh lebih besar: Krisis Moneter Asia pada pertengahan tahun 1997. Krisis ini menghantam perekonomian Indonesia dengan sangat parah. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS anjlok drastis, dari sekitar Rp 2.500 menjadi lebih dari Rp 15.000 dalam hitungan bulan. Suku bunga melambung tinggi, inflasi merajalela, dan daya beli masyarakat runtuh.
Krisis ini menjadi pukulan telak bagi proyek Timor. Dengan sebagian besar komponen yang masih diimpor, biaya produksi Timor melambung tak terkendali karena depresiasi Rupiah. Harga jual yang semula murah menjadi tidak realistis untuk dipertahankan. Daya beli masyarakat yang hancur juga membuat permintaan mobil baru, termasuk Timor, merosot tajam. Pabrik Timor yang direncanakan akan dibangun di Cikampek, Jawa Barat, pun terhenti pembangunannya.
Sebagai bagian dari paket penyelamatan ekonomi, Dana Moneter Internasional (IMF) memberikan pinjaman besar kepada Indonesia. Namun, pinjaman ini datang dengan syarat-syarat ketat, salah satunya adalah penghapusan semua kebijakan diskriminatif dan fasilitas khusus yang diberikan kepada proyek Timor. IMF menuntut agar Indonesia mematuhi aturan WTO dan menciptakan iklim persaingan yang sehat.
Pada Januari 1998, pemerintah Indonesia, yang sudah terpojok oleh krisis dan tekanan internasional, secara resmi mencabut Inpres Nomor 2 Tahun 1996 dan mengakhiri fasilitas khusus untuk Timor. Ini adalah akhir yang tak terelakkan bagi proyek yang dibangun di atas fondasi kebijakan proteksionis yang rapuh. Kejatuhan rezim Orde Baru pada Mei 1998 semakin mengubur mimpi Timor. PT Timor Putra Nasional kemudian dinyatakan pailit pada tahun 1999.
VI. Warisan dan Pelajaran dari Timor: Antara Kebanggaan dan Realita Pahit
Meskipun singkat dan penuh kontroversi, kisah Timor meninggalkan jejak yang dalam dalam sejarah industri dan ekonomi Indonesia. Secara positif, proyek ini sempat membangkitkan semangat kebanggaan nasional, menunjukkan bahwa Indonesia berani bermimpi besar. Namun, secara realistis, Timor adalah sebuah kegagalan yang mahal.
Pelajaran terpenting dari Timor adalah bahwa pembangunan industri yang berkelanjutan tidak bisa ditempuh dengan jalan pintas dan kebijakan yang diskriminatif. Kemandirian industri harus dibangun di atas fondasi yang kokoh: riset dan pengembangan yang kuat, transfer teknologi yang nyata, pengembangan rantai pasok lokal yang kompetitif, investasi jangka panjang, dan yang terpenting, persaingan yang sehat dan adil. Proteksi yang berlebihan hanya akan menciptakan inefisiensi dan ketergantungan.
Kasus Timor juga menjadi pengingat pahit tentang bahaya intervensi politik dan nepotisme dalam proyek-proyek ekonomi strategis. Ketika sebuah proyek nasional diselimuti oleh kepentingan pribadi dan politik, tujuannya yang mulia akan terkikis dan pada akhirnya merugikan negara itu sendiri.
Meskipun Timor telah lama berlalu, impian akan mobil nasional tidak pernah sepenuhnya padam. Setelah Timor, muncul berbagai inisiatif lain seperti Esemka, dan kini fokus pada pengembangan kendaraan listrik. Namun, pendekatan yang diambil telah banyak berubah, lebih mengedepankan kolaborasi, pengembangan teknologi secara bertahap, dan kepatuhan pada aturan pasar.
Kisah Timor adalah saga ambisi yang tinggi, kontroversi yang mendalam, dan kejatuhan yang tragis. Ia adalah monumen bagi impian yang terlalu besar untuk direalisasikan dengan cara yang salah, sebuah pelajaran berharga tentang betapa kompleksnya membangun sebuah identitas industri di tengah dinamika ekonomi global dan realitas politik domestik. Timor mungkin karam, tetapi gelombang pelajarannya terus membimbing perjalanan panjang Indonesia menuju kemandirian industri sejati.










