Penilaian Program Rekonstruksi Pasca-Gempa di Lombok

Dari Reruntuhan Menuju Ketahanan: Menjelajahi Kedalaman Penilaian Program Rekonstruksi Pasca-Gempa Lombok

Pendahuluan: Mengukur Denyut Nadi Kebangkitan

Pada pertengahan tahun 2018, serangkaian gempa bumi dahsyat mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, meninggalkan jejak kehancuran yang masif dan luka mendalam bagi ribuan masyarakatnya. Gempa-gempa tersebut tidak hanya merenggut nyawa dan melukai fisik, tetapi juga meruntuhkan ribuan rumah, fasilitas umum, dan mengoyak sendi-sendi kehidupan sosial-ekonomi. Dalam kondisi darurat yang luar biasa ini, pemerintah bersama berbagai elemen masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah (ORNOP), dan lembaga internasional segera melancarkan program rekonstruksi dan rehabilitasi dengan semangat "Membangun Kembali Lebih Baik" (Build Back Better).

Namun, pembangunan kembali pasca-bencana bukanlah sekadar mendirikan bangunan fisik. Ini adalah proses kompleks yang melibatkan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Oleh karena itu, penilaian program rekonstruksi menjadi krusial. Penilaian bukan hanya sekadar laporan angka, melainkan sebuah instrumen vital untuk memahami sejauh mana upaya-upaya yang telah dilakukan berhasil mencapai tujuannya, mengidentifikasi kelemahan, merumuskan pembelajaran, dan memastikan akuntabilitas. Artikel ini akan menyelami secara mendalam proses penilaian program rekonstruksi pasca-gempa di Lombok, menguraikan metodologi, dimensi analisis, tantangan, serta pembelajaran berharga yang dapat dipetik untuk respons bencana di masa mendatang.

Konteks Bencana dan Skala Kerusakan di Lombok

Serangkaian gempa bumi dimulai pada 29 Juli 2018, diikuti oleh gempa utama berkekuatan M 7.0 pada 5 Agustus, dan serangkaian gempa susulan kuat lainnya hingga bulan Agustus. Dampaknya sungguh luar biasa. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 500 korban jiwa, puluhan ribu luka-luka, dan lebih dari 400.000 jiwa mengungsi. Kerusakan infrastruktur mencapai skala epik: sekitar 200.000 unit rumah rusak (baik ringan, sedang, maupun berat), ribuan fasilitas pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, dan bangunan publik lainnya hancur atau mengalami kerusakan parah. Total kerugian ekonomi diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah.

Melihat skala kerusakan yang demikian besar, respons rekonstruksi membutuhkan mobilisasi sumber daya yang masif dan pendekatan yang terintegrasi. Pemerintah menetapkan skema bantuan stimulan untuk pembangunan rumah tahan gempa (RTG) dengan melibatkan masyarakat secara langsung melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Konsep ini, meskipun inovatif, membawa serta kompleksitas tersendiri dalam pelaksanaannya.

Kerangka Kerja Program Rekonstruksi: Fondasi Harapan

Program rekonstruksi pasca-gempa Lombok didasarkan pada Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RARK) yang disusun oleh pemerintah daerah bersama BNPB dan berbagai pemangku kepentingan. Pilar utama program ini meliputi:

  1. Perumahan dan Permukiman: Fokus utama adalah pembangunan kembali rumah-rumah yang rusak dengan standar tahan gempa. Pemerintah memberikan bantuan stimulan dalam tiga kategori (rusak berat, rusak sedang, rusak ringan) yang disalurkan melalui rekening Pokmas. Model rumah yang dianjurkan adalah Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), Rumah Instan Kayu (RIKA), dan Rumah Instan Baja Ringan (RIBA) atau Rumah Konvensional.
  2. Infrastruktur Publik: Perbaikan dan pembangunan kembali fasilitas pendidikan, kesehatan, jalan, jembatan, dan sarana umum lainnya.
  3. Sosial dan Ekonomi: Pemulihan mata pencarian, dukungan psikososial, dan penguatan kapasitas masyarakat.
  4. Lingkungan Hidup dan Pengurangan Risiko Bencana: Integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesadaran akan risiko bencana.

Pendekatan "community-driven reconstruction" melalui Pokmas menjadi ciri khas program ini, di mana masyarakat penerima bantuan diberdayakan untuk mengelola dana dan proses pembangunan rumah mereka sendiri, dengan pendampingan dari fasilitator dan pengawas teknis.

Metodologi Penilaian Program: Membedah Realita di Lapangan

Penilaian program rekonstruksi pasca-gempa Lombok adalah upaya multi-pihak yang melibatkan pemerintah, lembaga penelitian, akademisi, dan organisasi sipil. Metodologi yang digunakan harus komprehensif dan multidimensional, mencakup:

  1. Kerangka Logis Penilaian (Evaluation Framework): Menggunakan kriteria penilaian standar internasional seperti yang diusung oleh Development Assistance Committee (DAC) dari OECD, yaitu:

    • Relevansi (Relevance): Sejauh mana tujuan dan kegiatan program sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat terdampak serta kebijakan nasional.
    • Efektivitas (Effectiveness): Sejauh mana program mencapai tujuan yang ditetapkan.
    • Efisiensi (Efficiency): Sejauh mana sumber daya (waktu, uang, tenaga) digunakan secara optimal untuk mencapai hasil.
    • Dampak (Impact): Perubahan jangka panjang, baik positif maupun negatif, yang dihasilkan oleh program.
    • Keberlanjutan (Sustainability): Kemampuan program untuk menghasilkan manfaat jangka panjang setelah intervensi berakhir.
  2. Pengumpulan Data: Meliputi berbagai teknik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan representatif:

    • Survei Rumah Tangga: Melakukan survei berskala besar kepada penerima manfaat untuk mengumpulkan data kuantitatif tentang kondisi rumah, tingkat kepuasan, akses terhadap bantuan, dan perubahan kualitas hidup.
    • Wawancara Mendalam (In-depth Interviews): Dengan berbagai pemangku kepentingan seperti pejabat pemerintah (pusat dan daerah), kepala desa, fasilitator, kontraktor, tokoh masyarakat, perwakilan ORNOP, dan tentu saja, para penyintas gempa.
    • Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussions/FGD): Untuk menggali perspektif kolektif, isu-isu sensitif, dan dinamika sosial dalam komunitas.
    • Observasi Lapangan: Kunjungan langsung ke lokasi rekonstruksi untuk memverifikasi kualitas bangunan, melihat proses pembangunan, dan mengidentifikasi masalah yang tidak terungkap melalui data kualitatif/kuantitatif.
    • Analisis Dokumen: Meninjau laporan program, laporan keuangan, kebijakan, panduan teknis, dan data dari sistem informasi manajemen (SIM) yang digunakan pemerintah.
    • Geospatial Analysis: Menggunakan citra satelit dan data geografis untuk memetakan lokasi kerusakan, progres pembangunan, dan perubahan penggunaan lahan.
  3. Indikator Penilaian:

    • Kuantitatif: Jumlah rumah terbangun per kategori, jumlah dana tersalurkan, waktu penyelesaian, jumlah penerima manfaat per jenis bantuan, persentase rumah yang memenuhi standar RTG.
    • Kualitatif: Tingkat partisipasi masyarakat, persepsi keamanan dan kenyamanan, tingkat kepuasan terhadap kualitas rumah, perubahan perilaku terkait mitigasi bencana, pemulihan mata pencarian.

Analisis Dimensi Penilaian: Menyingkap Lapisan-Lapisan Kebangkitan

A. Relevansi:
Program rekonstruksi Lombok menunjukkan relevansi yang tinggi. Fokus pada perumahan tahan gempa secara langsung menjawab kebutuhan mendesak masyarakat untuk tempat tinggal yang aman. Pendekatan Pokmas juga relevan karena memberdayakan masyarakat lokal dan memanfaatkan kearifan lokal. Namun, tantangan muncul dalam relevansi desain RTG yang terkadang kurang sesuai dengan preferensi budaya atau kebutuhan spesifik keluarga (misalnya, jumlah kamar, desain dapur). Beberapa kritik juga muncul terkait lokasi relokasi yang dianggap kurang strategis bagi mata pencarian.

B. Efektivitas:
Secara umum, program rekonstruksi berhasil membangun kembali sebagian besar rumah yang rusak. Namun, efektivitas pencapaian target dan kualitas bervariasi. Pada akhir 2020, sebagian besar rumah rusak berat dan sedang telah selesai dibangun atau dalam proses. Keberhasilan ini tidak terlepas dari mobilisasi besar-besaran sumber daya dan partisipasi masyarakat. Namun, tantangan besar muncul pada:

  • Kualitas Bangunan: Meskipun berlabel "tahan gempa," beberapa laporan menunjukkan standar teknis yang tidak terpenuhi sepenuhnya karena kurangnya pengawasan, keterbatasan pengetahuan Pokmas, atau penggunaan bahan yang kurang berkualitas.
  • Cakupan: Masih ada sebagian kecil korban gempa, terutama mereka dengan masalah kepemilikan lahan atau yang tinggal di daerah terpencil, yang belum sepenuhnya terjangkau bantuan.
  • Waktu Penyelesaian: Banyak proyek mengalami keterlambatan signifikan dari target awal karena berbagai faktor seperti birokrasi, ketersediaan material, atau kapasitas Pokmas.

C. Efisiensi:
Efisiensi program menjadi sorotan utama. Penyaluran dana melalui Pokmas, meskipun bertujuan baik, terkadang menimbulkan masalah efisiensi. Proses verifikasi yang panjang, keterlambatan pencairan dana, dan birokrasi yang berbelit-belit seringkali menghambat laju pembangunan. Selain itu, variasi harga material dan upah pekerja antar wilayah juga mempengaruhi efisiensi anggaran. Isu lain adalah kapasitas fasilitator yang terbatas untuk mendampingi puluhan Pokmas, sehingga kualitas pendampingan menjadi tidak merata.

D. Dampak:
Dampak program rekonstruksi sangat signifikan dalam memulihkan kehidupan masyarakat Lombok.

  • Peningkatan Kualitas Hidup: Masyarakat kembali memiliki rumah yang lebih aman dan layak huni, mengurangi trauma psikologis akibat tinggal di tenda pengungsian.
  • Pemulihan Ekonomi Lokal: Proses pembangunan melibatkan pekerja lokal dan pembelian material dari toko-toko setempat, memicu kembali roda ekonomi di desa-desa.
  • Peningkatan Pengetahuan: Masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya konstruksi tahan gempa dan mitigasi bencana.
  • Dampak Sosial: Terjadi peningkatan kohesi sosial dalam Pokmas, namun di sisi lain juga muncul konflik-konflik kecil terkait pengelolaan dana atau perbedaan pendapat.

E. Keberlanjutan:
Aspek keberlanjutan program menjadi pertanyaan penting. Apakah rumah-rumah yang dibangun akan tetap terawat? Apakah masyarakat memiliki kapasitas untuk melakukan perawatan dan perbaikan di masa depan? Integrasi prinsip pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang dan kebijakan pembangunan lokal menjadi kunci. Selain itu, pelatihan keterampilan konstruksi tahan gempa bagi masyarakat lokal dapat menjadi modal keberlanjutan. Namun, pendanaan untuk pemeliharaan jangka panjang masih menjadi tantangan.

Tantangan dan Hambatan dalam Pelaksanaan dan Penilaian

Pelaksanaan program rekonstruksi yang masif ini tentu tidak luput dari berbagai tantangan, yang juga berdampak pada proses penilaian:

  1. Data Awal yang Tidak Akurat: Basis data awal kerusakan dan penerima manfaat seringkali tidak lengkap atau tidak akurat, menyulitkan perencanaan dan targetisasi yang tepat.
  2. Koordinasi Multi-Sektor: Koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BNPB, kementerian/lembaga terkait, TNI/Polri, ORNOP, dan komunitas seringkali menghadapi kendala birokrasi dan perbedaan prioritas.
  3. Kualitas Material dan Tenaga Kerja: Keterbatasan pasokan material berkualitas dan tenaga kerja terampil di daerah terpencil menjadi hambatan serius dalam memastikan standar RTG terpenuhi.
  4. Kapasitas Pokmas: Meskipun memberdayakan, tidak semua Pokmas memiliki kapasitas yang sama dalam pengelolaan dana, pengadaan material, dan pengawasan konstruksi.
  5. Isu Lahan dan Legalitas: Masalah kepemilikan lahan yang belum bersertifikat atau berada di zona rawan bencana menghambat proses pembangunan dan relokasi.
  6. Transparansi dan Akuntabilitas: Mekanisme pengawasan dan pelaporan yang kurang transparan kadang memicu isu penyalahgunaan dana atau praktik korupsi.
  7. Dinamika Sosial dan Konflik: Perbedaan persepsi, harapan, dan tingkat keterlibatan dalam komunitas dapat memicu konflik antar warga atau dengan pihak fasilitator.
  8. Pembatasan Akses Data: Penilai seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses data yang komprehensif dari berbagai pihak, baik karena alasan birokrasi maupun keterbatasan sistem.

Pembelajaran dan Rekomendasi: Menatap Masa Depan yang Lebih Tangguh

Dari penilaian mendalam program rekonstruksi Lombok, banyak pembelajaran berharga yang dapat ditarik untuk meningkatkan respons bencana di masa depan:

  1. Penguatan Basis Data Awal: Investasi pada sistem pendataan kerusakan dan penerima manfaat yang akurat, cepat, dan terintegrasi sejak fase tanggap darurat.
  2. Peningkatan Koordinasi: Membangun platform koordinasi multi-sektor yang lebih kuat dan terstruktur dengan peran dan tanggung jawab yang jelas bagi setiap pemangku kepentingan.
  3. Pemberdayaan Masyarakat yang Terukur: Pendekatan community-driven reconstruction perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas Pokmas yang lebih intensif, pendampingan teknis yang memadai, dan pengawasan kualitas yang ketat.
  4. Standardisasi dan Kualitas Konstruksi: Penegakan standar bangunan tahan gempa yang ketat, dengan pengawasan mandiri oleh masyarakat dan pengawasan eksternal oleh tenaga ahli.
  5. Mekanisme Pengaduan dan Resolusi Konflik: Membangun sistem pengaduan yang mudah diakses, responsif, dan adil untuk mengatasi masalah di lapangan.
  6. Transparansi dan Akuntabilitas: Menerapkan sistem pelaporan keuangan dan progres yang transparan, dapat diakses publik, dan diaudit secara berkala.
  7. Integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB): Memasukkan prinsip-prinsip PRB ke dalam setiap tahapan program, mulai dari perencanaan tata ruang, desain bangunan, hingga peningkatan kesadaran masyarakat.
  8. Pengembangan Kapasitas Lokal: Melatih tenaga kerja lokal dalam konstruksi tahan gempa untuk menciptakan keberlanjutan ekonomi dan kapasitas teknis di komunitas.
  9. Fleksibilitas Program: Program harus cukup fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan dinamika lokal, preferensi masyarakat, dan tantangan yang muncul di lapangan.

Kesimpulan: Sebuah Perjalanan Menuju Ketahanan Sejati

Program rekonstruksi pasca-gempa di Lombok adalah sebuah saga besar tentang ketahanan manusia, kolaborasi, dan tantangan. Penilaian yang komprehensif menunjukkan bahwa meskipun diwarnai berbagai kendala, upaya ini telah berhasil membawa masyarakat Lombok dari jurang reruntuhan menuju harapan dan kehidupan yang lebih baik. Ribuan rumah telah berdiri kembali, kehidupan telah berdenyut lagi, dan semangat kebersamaan telah teruji.

Namun, kebangkitan sejati bukan hanya tentang membangun fisik, melainkan juga membangun kesadaran, kapasitas, dan sistem yang lebih kuat untuk menghadapi bencana di masa depan. Pembelajaran dari Lombok adalah permata berharga yang harus diinternalisasi dan diimplementasikan dalam setiap strategi penanggulangan bencana di Indonesia. Dengan terus melakukan penilaian, refleksi, dan perbaikan, kita dapat memastikan bahwa setiap langkah rekonstruksi adalah langkah maju menuju ketahanan sejati, di mana masyarakat tidak hanya membangun kembali, tetapi juga membangun lebih baik dan lebih aman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *